Peristiwa teror yang terjadi di kawasan Sarinah Jl MH Thamrin Jakarta Pusat Kamis (14/1) lalu masih menjadi berita utama di berbagai media online, cetak, dan siar. Pernak-pernik tentang pelaku, jaringan, dan motif pun semakin hangat dibincang secara detail oleh para pakar hingga rakyat jelata dalam obrolan-obrolan seru di berbagai kesempatan.
Ada begitu banyak data yang tersingkap. Fakta-fakta pun bermunculan, lalu media berupaya merangkainya dalam satu kesatuan utuh hingga mudah dipahami oleh masyarakat.
Dalam teror tersebut, polisi resmi menyatakan enam orang sebagai tersangka. Sedangkan korban dalam kejadian itu, delapan orang dinyatakan meninggal dunia dan dua puluh enam orang mengalami luka-luka ringan hingga parah. (Republika (21/1))
Dari delapan korban meninggal dunia, empat di antaranya merupakan pelaku. Ialah Muhammad Ali yang berprofesi sebagai sopir angkot di daerah Jakarta Barat, Dian Juni Kurniadi yang merupakan mantan mekanik sebuah perusahaan swasta, Ahmad Muhazan bin Saroni yang sehari-hari bekerja sebagai penjual kebab di bilangan Cikampek, serta Afif atau Sunakim asal Subang yang pernah ditahan tujuh tahun karena terlibat latihan militer di Bumi Rencong Nangroe Aceh Darussalam.
Dana Asing
Republika Kamis (21/1) menyebutkan, aksi teror di kawasan Sarinah ini didanai oleh asing. Sebagaimana disampaikan oleh PPATK, seorang berinisial L mentransfer sejumlah dana untuk menjalankan aksi teror di Indonesia. Kemudian, dana tersebut ditransfer ke Filipina untuk dibelikan senjata.
“Setelah kami koordinasi dengan Densus, H ini mengirim dana kepada pemasok senjata di Filipina.” ungkap M Yusuf, ketua PPATK. Kronologinya, L mentransfer dana ke istrinya di daerah Nusa Tenggara untuk diteruskan kepada H yang membeli senjata di Filipina.
Mengejutkan!
Keterangan lain yang mengejutkan berasal dari Sekretaris Kabinet, Pramono Anung. “Gambar wajah pelaku para pelaku teror Thamrin sudah pernah dibawa dalam rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo sejak November tahun lalu (2015).” tulis Republika Kamis (21/1) sampaikan warta.
“Kemarin,” kata Pramono Anung kepada Republika, “kita tidak bisa melakukan (penangkapan) karena tidak ada payung hukumnya. Payung hukum itulah yang dipersiapkan.”