Sukarno dan Amelia de la Rama.
PRESIDEN Sukarno melakukan kunjungan kerja ke Manila, Filipina, pada 8 Januari 1964 untuk membahas Maphilindo (Malaysia-Philippines-Indonesia). Maphilindo merupakan upaya meredam persengketaan batas negara akibat bergabungnya Sabah dan Sarawak ke negara Malaysia pada 1963.
Ini merupakan kunjungan resmi kedua terkait soal Maphilindo. Kunjungan pertama dilakukannya pada Agustus 1963. Di sesela pertemuan resmi dengan Macapagal, Sukarno menikmati saat-saat santai dengan politisi negara itu. Dalam sebuah pesta di rumah Laurel, yang dihadiri sosialita Filipina, dia bertemu lalu menaruh hati pada seorang aktris Filipina: Amelia de la Rama –ada juga yang menulis Amalia de la Rama.
Kisah kasih Sukarno dengan Amelia de la Rama beredar kencang di kalangan jurnalis Filipina saat itu. Perihal hubungan khusus ini juga didengar Jose Maria Sison, pendiri dan ketua Partai Komunis Filipina (CPP) yang kini seorang eksil politik di Belanda.
Sison pernah mengunjungi Indonesia pada 1963 dan 1964 sebagai koresponden Eastern World yang berbasis di London dan anggota Persatuan Wartawan Asia-Afrika. Dia menjalin hubungan akrab dengan banyak petinggi Partai Komunis Indonesia. Kitab merah yang ditulis Sison, Philippine Society and Revolution (1971), mirip judul dan isinya dengan kitab karangan Aidit, Masjarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia (1958).
Di dalam buku kenangannya, At home in the world: portrait of a revolutionary (2004), Sison menulis: “Sesudah kunjungan Sukarno di Manila guna menghadiri konferensi Maphilindo pada 1963, satu tabloid-kuning menyebut diriku sebagai kaki-tangan Sukarno, dan bahkan menuding diriku sebagai orang yang bertindak membeli sebuah rumah mewah di Forbes Park untuk dihadiahkan kepada seorang perempuan Filipina yang ditenggarai sebagai kekasihnya, yaitu seorang sosialita ternama Amelia de la Rama, yang tak pernah kukenal sebelumnya.”
Karena bersumber dari gosip dan tak punya bukti kuat, kisah cinta itu seolah omong kosong belaka. Namun hubungan Sukarno dan Emilia rupanya juga terekam dalam apa yang bisa disebut sebagai “dokumen Marcos”.
Setelah runtuhnya diktator Ferdinand Marcos, Presiden Corazon Aquino membentuk Komisi Presiden untuk Pemerintahan yang Bersih (PCGG). Tugasnya antara lain menyelidiki dan membawa kembali kekayaan Marcos beserta kroni-kronimya yang didapat melalui korupsi. PCGG langsung memulai tugasnya dengan menyita dan meneliti semua dokumen pribadi milik Marcos. Satu dokumen tertanggal 29 Juli 1964 menyatakan perihal kekasih Sukarno.
Dokumen tersebut sesungguhnya membahas skandal keuangan Harry S. Stonehill, mantan tentara Amerika yang berkat jalinan kerjasamanya dengan Marcos –kala itu anggota Kongres– mampu membangun kerajaan bisnis di Filipina. Stonehill dideportasi pada 1962 karena menyuap politisi lokal. Namun dia masih bisa mengendalikan bisnisnya di Filipina melalui Jos B. (“Jobo”) Fernandez, pendiri Far East Bank and Trust.
Kelompok Jobo agresif mengembangkan bisnis; termasuk ke Indonesia. Karena tak punya pijakan kuat di Indonesia, kelompok Jobo mencoba meyakinkan Daniel Aguinaldo untuk bergabung dengan mereka karena, tulis dokumen tersebut, “Dan Aguinaldo, lewat Amalia Amante, sang kekasih Sukarno, berhasil memperoleh konsensi kayu yang sangat baik di Indonesia, sehingga mampu memiliki pijakan.”
Daniel Aguinaldo, pendiri dan pemilik Aguinaldo Development Corporation (ADECOR), adalah multijutawan Filipina. Dia menginvestasikan kekayaannya lebih dari 100 juta peso untuk konsesi hutan, peternakan mutiara, industri dan real estate.
Namun Dan Aguinaldo tak tertarik. Karena itu, kelompok Jobo coba mendekati Amalia melalui Vicente Fernandez, saudara Jobo yang pernah ditaksir Amalia. Penulis dokumen itu melaporkan, dengan cara itulah “mereka mendapatkan pangkalan beroperasi.”
Keyakinan itu bukan tanpa dasar, karena: “Sukarno baru-baru ini membeli sebuah rumah di Forbes Park seharga 400 ribu peso tunai atas nama Ny. Amalia de la Rama, yang dikenal sebagai Amalia Amante.”
Forbes Park adalah kawasan perumahan mewah di Manila, yang merupakan tempat tinggal para jutawan dan kaum elit negara itu.
Sayangnya, “dokumen Marcos” tak memberikan petunjuk lain untuk melacak kebenaran kisah ini. Selain itu, tidak ada data atau dokumen lain sebagai pembanding. Seandainya benar, tentu ini bukan hal yang baru. Bukankah Ratna Sari Dewi melakukan hal serupa dengan investasi Jepang?
Amelia lahir dari sebuah keluarga konservatif di Bulacan, Filipina, tahun 1927. Nama sebenarnya Amelia Amante. Ketika berusia 15 tahun, dia minggat dari rumah untuk mengikuti jantung hatinya. Mereka menikah dan memiliki seorang anak. Ketika usianya 20 tahun, suaminya meninggal dunia.
“Aku tak benar-benar menjalani hidup nyaman sebagaimana orang bayangkan. Aku menikah muda. Ketika anakku lahir, ayahku meninggal dunia. Aku merawat anakku dan juga ibuku. Aku belajar bergantung pada diriku sendiri sejak saat itu,” ujarnya, dikutip jurnalis-cum-kritikus film Norma L. Japitana dalam Maya Pobre and the Killers Baratilyo(1995).
Amelia kemudian terjun ke dunia film. Dia mendapat peran kecil dalam film Pangarap Ko’y Ikaw Rin (1947), Bulakenyo (1949), The Steel Claw (1961), dan Manila, Open City (1968). Ketika menapaki kariernya, dia sempat menikah lagi dengan seorang pengacara yang pernah jadi konsul di Hongkong. Suaminya punya hubungan dengan keluarga Osmena dari Cebu, yang punya pengaruh kuat dalam politik maupun bisnis di Filipina. Dari perkawinan inilah Amelia mencantumkan nama keluarga suaminya, de la Rama. Perkawinan itu kemudian bubar.
Perannya dalam The Steel Claw, film produksi Hollywood yang diproduseri, disutradarai, dan dibintangi George Montgomery, melambungkan namanya. Status selebritas membuat kehadiran Amelia disambut di setiap pesta saat Osmena dan orang-orang besar dari selatan menjalankan bisnis mereka dengan kesenangan. Saat itulah dia bertemu Sukarno.
“Dalam kehidupan setiap perempuan hanya ada satu cinta yang agung. Saya beruntung berkenalan dengan Presiden. Ini terjadi di sebuah pesta yang digelar untuknya. Saya ada bersama Nick Osmena dari Cebu. Ada ketertarikan instan ketika kami bertemu....,” ujar Amelia. Nicasio (Nick) Osmena adalah putra sulung Sergio Osmena Sr, mantan presiden Filipina (1944-1946) yang gambar mukanya menghiasi mata uang 50 peso.
Baginya, tahun-tahun bersama Sukarno terasa menyenangkan. Tak ada kenangan bersama lelaki lain yang bisa merengutnya. Dia berpergian bersama Sukarno ke beberapa negara. Dia juga pernah diajak ke Istana Tampaksiring di Bali. Amelia suka mengenang hari-hari di mana dia bersama Sukarno berjalan mengelilingi istana. Inilah waktunya percakapan intim; tentang urusan negara, tentang istri-istri lainnya, tentang Dewi.
Amelia menyimpan hubungannya dengan Sukarno selama 15 tahun sebelum dia membuat pengakuan ke publik pada 1979. Bukan hanya sebagai kekasih, tapi juga seorang istri. Kepada harian Hongkong Standard awal Februari 1979, Amelia mengaku pernah dinikahi Sukarno. Amelia mengenang, dia tiba di Jakarta pada 1964 dan, dengan diam-diam, menikah dengan Sukarno di masjid istana.
“Saya sendiri yang tidak mau perkawinan kami diumumkan,” ujarnya, dikutip majalahTempo edisi 17 Februari 1979, ”karena kedudukan beliau, karena saya seorang Filipino. Ingat kesukaran yang timbul setelah dia menikah dengan Dewi?”
Tak ada kabar atau publikasi tentang pernikahan mereka. Bahkan kedatangan Amelia luput dari pemberitaan koran. Menariknya, pada tahun yang sama, Presiden Macapagal melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia. Di sesela kunjungan, Sukarno dan Macapagal mengunjungi Bogor, Bandung, Yogya, dan Bali –menginap di Istana Tampaksiring.
“Sukarno adalah laki-laki yang bisa memberi pengertian, cinta, dan kelembutan,” ujarnya. “Dan saya tidak pernah bertemu dengan pria yang begitu mudah berkawan dan begitu sopan.”
Dan Sukarno memberi panggilan sayang untuknya: Sampaguita –bunga melati, kembang nasional Filipina.
Kekasih Terakhir?
Sukarno wafat pada 21 Juni 1970. Amelia tak berada di sisinya. Bahkan sebagaimana pengakuannya, dia berjanji tak akan melawat saat Sukarno wafat. “Tapi saya berjanji bahwa saya akan berkunjung ke kuburannya dengan menaburkan bunga sampaguita,” ujarnya, dikutip Tempo.
“Saya ingin mengingatnya seperti saya melihatnya. Mengenakan seragam putih, gagah dan membawa tongkat komando.”
Di balik ketidakhadirannya, mungkin dapat kita pinjam imajinasi yang dilukiskan Frankie dalam novel Ermita perihal perjumpaan terakhir Ermi dengan si Orang Besar.
Suaranya lemah namun hangat seperti biasa. “Aku bahagia bisa melihat dirimu.” Ermi memeluknya, baju dan nafasnya terhanyut dalam bau rumah sakit. Larut di dalam kesedihan, Ermi dapat merasakan tepukan lembut tangannya di punggungnya. “Ermiku,” gumamnya, sambil mendorong perlahan dirinya agar dapat menatap wajahnya yang dibasahi airmata.
Dengan ini maka berakhirlah kisah kasih Amelia dengan Sukarno. Enam bulan kemudian setelah Sukarno wafat, muncul berita pernikahan Amelia dengan James Willard Braly, seorang pensiunan pilot Angkatan Udara Amerika Serikat dan ajudan Presiden Dwight David Eisenhower. “Ini pernikahan keempat mempelai perempuan. Dia dinikahi Sukarno pada 1963, tapi Sukarno mengatur baginya untuk meninggalkan negara itu sebelum kup yang menggulingkannya pada 1967,” tulis Toledo Blade, 5 Januari 1971.
Usai itu, tidak kita ketahui bagaimana perjalanan hidup Amelia de la Rama, sang sampaguita.*
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Lisandro Claudio dan Ambeth Ocampo.