SONYA DEPARI ADALAH KITA



Dek Sonya, 
Kepada para pem-bully adek, ceritakanlah kisah Isa yang menolak terlibat hukuman rajam pada seorang perempuan yang dituduh berzina oleh para Farisi. "Yang merasa tanpa dosa, silahkan melempar batu pertama", balas putra Maryam kepada kaum Farisi tadi. Maka gerombolan 'penjaga moral' itu pun pergi.
Sesungguhnya apa yang Adinda lakukan -dan terekam untuk kemudian tersebar luas- juga dilakukan secara berjamaah oleh kita semua.
Terima kasih karena telah menjadi pengingat bahwa apa yang sama-sama kita lakukan itu ternyata sungguh-sungguh menyebalkan. Adek telah menjadi semacam cermin bagi masyarakat kita.
Bukankah kita semua suka berlindung di bawah ketiak nama besar seseorang, atau menghubungkan diri kita dengan institusi besar demi kepentingan sendiri atau sekedar kemudahan hidup masing-masing. Tak penting apakah hubungan tadi hanya sekedar kebohongan belaka.
Kita ramai-ramai menempel sticker 'Keluarga Besar TNI' di mobil kita. Kita memesan plat nomer dengan akhiran 'RFS'. Kita memerlukan itu semua untuk memuaskan nafsu merasa 'lebih' dibanding yang lain; lebih berkuasa, lebih aman, lebih pintar, atau lebih beriman.
Bayangkan Dek,
Betapa nikmat ketika semua orang harus menepi ketika mobil kita lewat hanya bermodalkan raungan sirine 'voorijder' yang tinggal kita bayar di akhir perjalanan. Yang tidak sanggup membayar cukup melampiaskan 'kehendak berkuasa'-nya ketika berkonvoi mengantar jenazah atau menuju pengajian. Bendera kertas kuning atau panji-panji majlis yang dikibar-kibarkan cukup untuk membuat pengguna jalan yang lain minggir teratur menjauh dari masalah.
Sebenarnya Dek,
Praktik mengaku-aku atau menghubung-hubungkan yang Adek lakukan telah lumrah diamalkan dari jaman baheula demi berbagai alasan, mulai dari mendapatkan legitimasi, pembenaran, sampai sekedar jualan.
Syahdan seorang petani di pedalaman bernama Panembahan Senopati harus mengaku-aku sebagai keturunan raja-raja Majapahit agar dinasti Mataram-nya dianggap layak berkuasa. Sedangkan untuk menyelamatkan muka orang Jawa dari dominasi VOC di pesisir utara, para ahli babad menceritakan bahwa Jan Pieterszoon Coen sejatinya adalah 'Mur Jangkung', keturunan raja-raja kuno yang pernah terbuang dan kini sekedar menuntut haknya.
Orang Minang juga merasa perlu mengisahkan bahwa sukunya adalah keturunan Sikander alias Alexander Agung dari Macedonia. Orang Batak? Hmmm... mereka percaya bahwa leluhurnya adalah mahluk langit yang turun ke Gunung Pusuk Buhit sebagai Mula Jadi Nabolon.
Raja-raja teutonic Jerman yang bertahta di Aachen pada Abad Pertengahan harus mengaku-aku sebagai penerus Kekaisaran Romawi agar lepas dari stigma barbar. Bahkan dinasti Habsburg dari Austria sangat terobsesi dengan 'penelitian' genealogi untuk merunut jalur darah para leluhur keluarga; tak masalah jika hasilnya konyol dan menggelikan. Tak tanggung-tanggung mereka mengklaim sebagai keturunan Pangeran Hector dari Troy.
Dek Sonya,
Tak kurang para Habib pun juga harus mengabarkan hubungan darahnya dengan keluarga Nabi agar jamaah tetap berduyun-duyun mendatangi tabligh akbarnya yang menutup jalan raya.
Kembali ke kisah putra Maryam di atas, setelah para Farisi pergi ia menoleh pada perempuan pezina yang diarak tadi dan hanya berkata "Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi."
Jadi Dek Sonya, jangan diulangi lagi ya...