Kita pasti mati. Terkait waktu, lokasi, dan proses kematiannya, ketiganya adalah rahasia yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala. Kematian juga bisa dijadikan salah satu parameter baik atau tidaknya seseorang kala hidup di dunia. Disebut akhir yang baik bagi siapa saja yang mati dalam keadaan iman dan Islam. Pun sebaliknya.
Berkaca pada kematian mampu menundukkan diri dan hati dari kepongahan. Bahwa kita semua lemah di hadapan mati. Tiada yang bisa diunggulkan. Pun fisik yang terlihat sangat gagah dan penuh pesona.
Para pendahulu umat ini, misalnya, adalah sosok yang paling tepat jika kita gunakan untuk bercermin. Mereka telah berhasil menjalani hidup dengan pesona akhlak, kemudian meninggalkan dunia ini dengan amal yang cemerlang. Warisan amal itu pula yang membuat nama mereka harum dalam perbincangan umat manusia hingga akhir zaman.
Berada satu zaman di bawah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kiranya akhir hayat 4 Khalifah kebanggaan kaum Muslimin ini amat layak untuk kita jadikan cermin tentang khusnul khatimah. Selain meninggalkan kisah menakjubkan, kalimat-kalimat terakhir yang berhasil dicatat sejarah dari 4 sosok penghuni surga amatlah mengangumkan, menggerakkan, dan membuat kita malu pada diri sendiri.
Abu Bakar ash-Shiddiq
Ayah ‘Aisyah istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjalani hari-hari akhir kehidupannya dengan banyak membaca surat Qaf [50] ayat 19, “Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya.”
Kemudian, beiau berpesan kepada Ummul Mukminin ‘Aisyah agar mencucikan baju yang beliau kenakan. “Cucilah, dan kafani aku dengannya. Sungguh, orang yang hidup jauh lebih layak untuk menggunakan pakaian baru daripada orang yang sudah jadi mayit.”
Pernahkah kita berfikir bahwa kain kafan yang digunakan oleh sebagian besar manusia memang berasal dari kain baru? Adakah yang pernah menggunakan kain kafan sebelum dikenakan untuk mayit? Sungguh, perkataan Abu Bakar ash-Shiddiq hanya lahir dari kualitas iman yang menakjubkan. Bahwa bekal sejati bukanlah kain atau yang jenisnya. Melainkan iman dan taqwa yang berada di dalam jiwa seseorang.
Al-Faruq Umar bin Khaththab
Ketika menanggung sakit lantaran tusukan musuh-musuh Allah Ta’ala, Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma mendatangi Sayyidina Umar yang tengah berbaring di tempat tidurnya. Kepada Khalifah kedua kaum Muslimin ini, Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Engkau sudah menjadi Muslim ketika orang-orang lain masih kafir. Engkau senantiasa berjihad bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tatkala orang-orang lain bermalas-malasan. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat, beliau sudah ridha dengan engkau.”
Dengan sisa-sisa tenaganya, Sayyidina Umar Radhiyallahu ‘anhu meminta agar Abdullah bin Abbas mengulang kalimatnya. Setelah diulang, Umar menimpali, “Celakalah orang yang tertipu dengan ucapanmu itu!”
Umar Radhiyallahu ‘anhu tidak mau dirasuki sombong. Umar sang pembeda kebaikan dan keburukan enggan dihinggapi setan di dalam dirinya. Maka kalimat kebenaran yang disampaikan oleh Abdullah bin Abbas terkait dirinya itu ditepis, agar tidak menjadi sebab kesombongan baginya.
Betapa mulianya Umar yang ditakuti setan terlaknat.
Dzun Nurain Utsman bin Affan
Laki-laki yang malaikat pun malu kepadanya ini tak berbeda kisahnya dengan para pendahulunya di jalan iman. Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu dikepung selama empat puluh hari, lalu dibunuh oleh musuh-musuh Allah Ta’ala.
“Tidak ada Tuhan selain Engkau, Ya Allah,” ujar Utsman tegar ketika darah menetes hingga ke janggutnya, “Mahasuci Engkau. Sesungguhnya aku termasuk orang yang zalim. Ya Allah, aku memohon Perlindungan-Mu dan Pertolongan-Mu atas persoalanku dan aku memohon pada-Mu agar diberikan kesabaran atas ujian ini.”
Laki-laki amat dermawan yang dua kali menjadi menantu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini sangat rendah hati. Iman dan taqwanya dijamin oleh sang Baginda. Akhir hayatnya pun digaransi berada dalam kebaikan. Surga dipastikan diberikan kepadanya. Akan tetapi, beliau masih mengaku sebagai orang zalim sebagai bentuk kerendah-hatiannya.
Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu
Di ujung hidupnya, sepupu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini masih sempat bertanya tentang laki-laki yang telah menusuknya. Kepada yang masih hidup, istri Fathimah az-Zahra binti Muhammad ini berpesan agar mereka tak berlaku zalim kepadanya. “Berikan makan dan minum. Jika aku mati, pukullah dia dengan sekali pukul saja.”
Sebagai wasiat paling akhir nan menakjubkan, Khalifah keempat kaum Muslimin ini berkata, “Jangan berlebih-lebihan dalam mengafaniku. Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Jangan bermewah-mewahan dalam berkafan. Sebab yang demikian itu menghimpit dengan keras.’”
Semoga Allah Ta’ala meridhai mereka dan menjadikan kita bagian dari mereka. Ya Allah, akhirkan hidup kami dalam iman dan Islam, dalam keadaan husnul khatimah. Aamiin.