Izinkan Aku, Bu



Oleh: Ova Laela Muttaqiyah
TERUNTUK; Ibuku ….
Bu, kita masih saja memperdebatkan satu hal dan tiada bosan. Sejak detik pertama hingga jam terakhir kita bertatap muka. Ialah tentang di mana aku kan tinggal setelah menikah nanti.
Kau katakan bahwa di mana pun aku tinggal maka tetap bisa berbakti, tentu dengan cara tersendiri. Rajin menghubungimu misalnya. Atau cukup mendoa akan segala kebaikan bagimu. Atau juga dengan tidak merusak nama baikmu sebagai orang tua. Aku pikir, itu terlalu kecil, Bu.
Namun aku masih berdiri kokoh di atas pendapat pribadi. Cara terbaik dalam berbakti adalah berada di sampingmu, memberi segala yang kau butuhkan. Selalu ada dan melupakan rasa lelah, sebab demikian dulu engkau merawatku. Tentu tetap berdoa untuk kebaikanmu.
Dan engkau pun masih kukuh pada pendirian. Meski aku anak tunggal, sebagai seorang istri haruslah berbakti pada suami. Di mana ia tinggal maka aku harus menuruti. Apa pun permintaannya, harus aku penuhi. Istri sholihah akan membantu suaminya memasuki surga, katamu. Maka orang tuanya pun turut terbawa. Begitulah sebaik-baik perhiasan dunia, begitu katamu, Bu.
Pada akhirnya aku menjawab, “aku akan mencari suami yang rumahnya dekat dengan kita, Bu.”
Dan engkau masih menegarkan hati dengan mengatakan, “siapa yang tahu takdir kita selain Allah? Tentang jodoh dan kematian. Turuti saja kemauanNya dan jangan protes.”
Ibu, aku tahu isi hatimu. Setiap malam doamu mengunjungi langit. Lalu Dia mengijabah dan aku akan menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Semua atas peranmu, Bu.
Usahamu membanting tulang telah menjadikan segumpal daging ini tumbuh dengan baik dan berpendidikan tinggi.
Empat tahun lebih aku merantau untuk sekolah dan engkau menikmati sepi di setiap malam, tanpa ada yang bisa mendengarmu untuk sekadar berkeluh kesah.
Empat tahun lebih aku berbangga diri telah mampu menjadi yang terbaik, di mana pun serta dalam hal apa pun. Ingatkah? Semua atas pengorbananmu. Namun akulah yang hampir lupa untuk semua hal itu. Kejam, bukan?
Ibu, kini engkau ingin melepasku begitu saja? Yakinkah? Atau sekadar ingin melihatku bahagia bersama suami? Lalu kau anggap diri ini akan memperbaiki hidup semua orang. Sekali lagi, Bu. Yakinkah?
Sungguh aku masih ingin di sini bersamamu. Merawatmu. Membantu mengisi senjamu dengan kebahagiaan. Meski tak sama dengan pengorbananmu dulu. Setidaknya aku ingin usaha, Bu. Aku mohon.
Sudikah kiranya untuk menuruti satu saja permintaanku ini?
Dari anakmu yang hendak menikah.
Yogyakarta, 16 Robiul Awal 1437 H